Senin, 18 Januari 2010

Mampukah Indonesia Memanfaatkan Peluang FTA ASEAN-China?

Mampukah Indonesia Memanfaatkan Peluang FTA ASEAN-China?

Selasa, 5 Januari 2010 - 09:19 wib

Pembeli memilih mainan produk asal China. (Foto: Koran SI/Rahmad Suryadi)
Bayangkan jika kita hidup tanpa ada sistem perdagangan. Barter pun tidak ada.Kita harus menanam sendiri beras, biji-bijian, buah, dan sayur yang kita konsumsi. Kita juga harus membuat pakaian, membangun rumah, bahkan mengobati sendiri ketika sakit. Hidup menjadi lebih enak kalau bekerja bersama-sama.

Berproduksi bersama dan mengonsumsi bersama.Kalau seluruh warga kampung bekerja sama,dengan spesialisasi masing-masing, setiap warga akan dapat menikmati hidup yang lebih baik. Mereka dapat mengonsumsi makanan dengan lebih bermutu, menggunakan pakaian yang lebih indah,mempunyai tempat tinggal yang lebih nyaman dan lebih terang. Bekerja sama ini dapat terlaksana dalam wujud yang paling tradisional, yaitu saling membantu atau barter. Pandya menanam padi, Bagas menghasilkan pakaian. Sebagian beras diberikan Pandya ke Bagas sebagai ganti pakaian yang ia hasilkan.

Proses barter ini mempersyaratkan adanya dua kebutuhan yang “pas”. Pandya mempunyai kelebihan beras dan membutuhkan pakaian. Bagas mempunyai kelebihan pakaian dan membutuhkan beras. Barter telah meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlibat.

Dalam proses yang lebih kompleks, yang melibatkan lebih banyak pihak, praktik barter sulit dilaksanakan. Kemudian terjadilah apa yang kita sebut perdagangan. Pandya memberikan beras ke Bagas dan Pandya mendapatkan uang. Dengan uang itu, Pandya dapat memperoleh buku dari Nida yang kebetulan mempunyai kelebihan buku dan Nida tidak memerlukan beras.

Dengan uang itu Nida dapat membeli sepatu yang diproduksi Qori dan Qori membeli pakaian dari Bagas. Terlihatlah betapa spesialisasi dan perdagangan meningkatkan kemakmuran semua yang terlibat. Kerja sama,saling membantu atau perdagangan dapat pula terjadi dalam wilayah yang lebih luas. Dapat terjadi di antara semua penduduk sebuah kabupaten, provinsi, negara, bahkan semua penduduk di dunia ini.Hal ini telah terjadi dalam waktu yang lama sekali. Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia,termasuk di Indonesia,ditandai dengan perdagangan.

Perdagangan antardaerah dan spesialisasi telah mengakibatkan peningkatan efisiensi dalam produksi dan konsumsi. Namun dengan adanya kedaulatan negara, perdagangan antarnegara tidak sebebas dulu. Banyak hambatan untuk menjual barang ke negara lain atau sebaliknya. Hambatan menjual dapat terjadi dari negara penjual ataupun dari negara yang membeli. Berbagai hambatan ini membuat biaya barang yang diperjualbelikan lebih mahal. Oleh sebab itu, peniadaan atau pengurangan biaya (hambatan) ini diharapkan dapat meningkatkan perdagangan dan kemakmuran di semua negara yang terlibat dalam perdagangan ini. Itulah asumsi dasar perlunya diciptakan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/ FTA).

Mulai 1 Januari 2010, ASEAN dan China telah melaksanakan FTA. Artinya, perdagangan antara ASEAN dan China harus bebas dari hambatan atau kalaupun ada, hambatan harus diperkecil.Tujuannya meningkatkan perdagangan dan kemudian meningkatkan efisiensi dalam produksi dan konsumsi di dua wilayah ini.Pada akhirnya kemakmuran di ASEAN dan China juga akan meningkat. Dengan FTA, China akan mendapatkan keuntungan dari perluasan pasar. Mereka dapat meningkatkan ekspor ke ASEAN. Di pihak lain, ASEAN akan juga akan mendapatkan pasar yang besar dari China.

Ekspor ASEAN ke China akan meningkat. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Selalu ada yang kalah, selain ada pemenang. Di ASEAN misalnya, akan ada yang kalah,yaitu mereka yang memproduksi barang yang harganya lebih mahal daripada yang diproduksi oleh China. Dengan FTA ini, produksi China akan membanjir ke ASEAN. Konsumen di ASEAN akan beruntung karena dapat mengonsumsi barang yang lebih murah. Namun, di ASEAN produsen barang-barang itu akan gulung tikar. Hal ini tidak terlalu bermasalah bila para produsen di ASEAN dapat meningkatkan ekspor produk berbeda ke China.

Terjadilah spesialisasi antara China dan ASEAN. Neraca perdagangan keduanya pun tidak terganggu karena ASEAN mengimpor dari dan juga mengekspor ke China. Lain halnya bila tidak mampu meningkatkan ekspor ke China.Akan terjadi defisit dalam neraca perdagangan ASEAN dan China. Kuncinya adalah adanya spesialisasi dan peningkatan ekspor dari ASEAN dan China agar kedua wilayah ini sama-sama mendapatkan keuntungan dari FTA.

Indonesia pada khususnya perlu segera meningkatkan ekspor ke China, memanfaatkan peluang yang sudah terbuka. Bila tidak ada spesialisasi dan peningkatan ekspor ke China, FTA antara ASEAN dan China dapat mengakibatkan pembengkakan defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China. Selanjutnya, kalau beberapa industri gulung tikar dan tidak muncul industri lain,tidak muncul spesialisasi yang lain, pertumbuhan pendapatan nasional Indonesia akan menurun.

Kalaupun tercipta spesialisasi yang baru dan ekspor ke China meningkat, pertanyaannya adalah apakah para pemenang (yang mampu mengekspor ke China) mau membantu mereka yang kalah, mereka yang harus gulung tikar karena FTA? Masalah distribusi “yang kalah dan pemenang” dalam FTA ini dapat menjadi isu sosial dan politik yang peka, yang perlu mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan. FTA ASEAN-China telah dilaksanakan. Indonesia harus mampu memanfaatkan peluang yang tercipta. Bila tidak, Indonesia hanya akan menjadi pasar yang menarik untuk China.

Indonesia akan sekadar menjadi konsumen dan bukan produsen. Suatu kebijakan lain adalah memanfaatkan murahnya barangbarang dari China untuk mendorong produksi dengan pasar dalam negeri. Murahnya barang-barang dari China dapat membuat konsumen Indonesia lebih berdaya beli dan karenanya meningkatkan permintaan untuk barang dan jasa lain, yang seyogianya ditangkap oleh produsen dalam negeri.Hal ini membuka peluang investasi dalam negeri yang besar. Jumlah penduduk Indonesia amat besar dan hal ini merupakan salah satu alasan mengapa China berminat membuat FTA dengan ASEAN. Dengan demikian,usaha untuk mengintegrasikan perekonomian dalam negeri menjadi amat penting.

Kita telah banyak berupaya mengintegrasikan perekonomian kita dengan negara lain, tetapi masih perlu usaha yang lebih banyak untuk mengintegrasikan perekonomian dalam negeri kita. Sekarang ini, misalnya, peniadaan biaya fiskal untuk yang bepergian ke luar negeri telah membuat Jakarta tampak lebih terintegrasi dengan Singapura, daripada dengan Singaraja, Bali. Dari Jakarta,jalanjalan ke Singapura telah menjadi satu pilihan yang relatif mudah dan murah daripada ke beberapa tempat lain di Indonesia. Oleh sebab itu, usaha mengurangi dan menghilangkan hambatan perdagangan dan investasi antardaerah di Indonesia menjadi makin mutlak saat FTA ASEANChina telah berlaku.

Ketersediaan transportasi dan komunikasi yang murah, aman, dan dapat dipercaya sangat penting dalam usaha mengintegrasikan perekonomian dalam negeri Indonesia. Integrasi perekonomian dalam negeri juga dapat membantu mengurangi biaya produksi. Pada gilirannya, produsen dalam negeri juga akan mampu menghasilkan produksi yang lebih murah dan lebih mampu bersaing dengan produksi dari China.

Pertanyaan yang mengganjal adalah mampukah kita segera meningkatkan produktivitas di dalam negeri, meningkatkan spesialisasi, dan meningkatkan ekspor ke China yang berakibat pada makin murahnya barang dan jasa di Indonesia serta peningkatan produksi di Indonesia? Semoga kita berhasil. (*)

sumber : http://economy.okezone.com/read/2010/01/05/279/290937/mampukah-indonesia-memanfaatkan-peluang-fta-asean-china

Tidak ada komentar:

Posting Komentar