Menghitung Untung dan Rugi FTA ASEAN-China
![](http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2008/07/29/074613p.jpg)
Ilustrasi hasil pertanian
oleh Hermas E Prabowo
KOMPAS.com — Guna memperkuat dan meningkatkan kerja sama ekonomi, meliputi perdagangan dan investasi, negara anggota ASEAN dan China sepakat membuat perjanjian perdagangan bebas. Ratifikasi terkait kerja sama itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004.
Kerja sama ekonomi ASEAN-China diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara masing-masing. Guna mewujudkan mimpi besar itu, disepakati untuk mengurangi hambatan- hambatan perdagangan sehingga tercipta perdagangan dengan biaya lebih rendah. Selain itu, juga disepakati untuk meningkatkan perdagangan dan investasi intra-regional serta meningkatkan efisiensi ekonomi.
Langkah untuk mencapai itu, antara lain, dengan penghapusan secara progresif hambatan tarif dan nontarif dalam semua perdagangan barang. Liberalisasi perdagangan barang dan jasa secara progresif dengan cakupan sektor yang signifikan. Lantas, di manakah posisi sektor pertanian dalam FTA ASEAN-China ini?
Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (FTA) untuk sektor pertanian sebenarnya adalah reaksi terhadap macetnya negosiasi terkait liberalisasi sektor pertanian di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sulit bagi Indonesia untuk menolak kesepakatan perdagangan bebas ini. Penolakan hanya akan membuat Indonesia terkucil dari pentas perdagangan regional. Di sisi lain, menolak FTA ASEAN-China juga tidak otomatis akan membuat ekonomi domestik menjadi kuat.
Tanpa menerima FTA ASEAN-China pun, Indonesia bakal kebanjiran produk impor dari China, yang masuk melalui negara-negara ASEAN lainnya, yang sebelumnya memang sudah terikat kerja sama regional.
Sementara bila Indonesia terlibat dalam FTA ASEAN-China, juga bukan tanpa masalah. Indonesia, dengan 230 juta penduduk, adalah pasar yang sangat besar bagi komoditas dan produk China. Sebelum FTA ASEAN-China dilaksanakan, berbagai produk dari China sudah membanjiri pasar domestik Indonesia.
Banyak komoditas dan produk Indonesia yang sulit bersaing dengan produk impor dari China. Padahal, industri penghasil produk tersebut, juga pertanian yang membudidayakan komoditas itu, menjadi tumpuan hidup jutaan rakyat Indonesia.
Sebagai bangsa, Indonesia memang tidak perlu berkecil hati menghadapi gelombang perdagangan bebas ini asalkan semua ”pekerjaan rumah” yang ada, sejak ratifikasi ditandatangani tahun 2004, dikerjakan dan diselesaikan dengan baik. Pekerjaan rumah itu adalah meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi sehingga daya saing komoditas dan produk Indonesia meningkat.
Menteri Pertanian Suswono menyatakan, ASEAN-China FTA adalah sebuah kebijakan yang sudah disepakati. Oleh karena itu, lebih baik bila dihadapi dengan mengupayakan peningkatan kapasitas, produksi, dan kualitas komoditas pertanian Indonesia. Hal itu diperlukan karena Indonesia tidak bisa selamanya menerapkan strategi bertahan. Cepat atau lambat, perdagangan bebas akan terjadi.
Oleh karena itu, pemerintah akan mendorong peningkatan daya saing ekspor produk pertanian unggulan, seperti sawit, karet, cokelat, manggis, salak, nanas, dan komoditas hortikultura lainnya.
Untuk subsektor perkebunan, barangkali Indonesia tidak perlu cemas. Neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China pasca-EHP (early harvest programme/percepatan penurunan atau penghapusan tarif) positif dan terus meningkat.
Pada tahun 2004 neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China hanya surplus 763,63 juta dollar AS, tahun 2008 naik hampir tiga kali lipat menjadi 2,757 miliar dollar AS.
Menurut Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Zaenal Bachruddin, dari 20 komoditas pertanian utama yang diekspor Indonesia ke China, didominasi komoditas perkebunan. Komoditas itu dalam bentuk komoditas primer ataupun produk olahan.
Komoditas perkebunan yang mendominasi ekspor Indonesia adalah minyak sawit, minyak inti sawit, karet SIR 20, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat pecah dan setengah pecah, karet polybutadiene styrene (SBR), margarin bukan kalengan, karet dengan campuran amonia, karet dengan campuran silika, serta kopi dipanggang tidak mengandung kafein.
Pukulan telak
Berbeda dengan perkebunan, subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan justru menghadapi tantangan berat. Padahal subsektor tersebut menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Neraca perdagangan komoditas tanaman pangan Indonesia-China tahun 2004 defisit 43,031 juta dollar AS. Tahun 2008 defisit membengkak menjadi 109,531 juta dollar AS.
Neraca perdagangan komoditas hortikultura defisit 150,282 juta dollar AS (2004) dan 2008 defisit 434,403 juta dollar AS. Adapun neraca perdagangan komoditas peternakan tahun 2004 defisit 7,798 juta dollar AS, dan 2008 menjadi defisit 17,948 juta dollar AS.
Meskipun secara agregat surplus neraca perdagangan Indonesia meningkat, hal itu tidak serta-merta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Apalagi ketiga subsektor yang menjadi gantungan hidup mayoritas rakyat mengalami hantaman.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, tahun 2009 jumlah tenaga kerja di subsektor perkebunan hanya 19,7 juta jiwa atau 45,7 persen dari total angkatan kerja sektor pertanian.
Dari 19,7 juta jiwa tersebut, hanya sekitar 8 juta jiwa yang terserap di kelapa sawit dan karet. Sisanya di komoditas perkebunan lainnya. Kelapa sawit dan karet lebih banyak diusahakan perkebunan besar, baik milik negara maupun swasta.
Adapun subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan menyerap lebih dari 30 juta tenaga kerja. Dengan demikian, kesalahan dalam melakukan tata kelola tiga subsektor pertanian itu akan langsung mengimbas pada sendi-sendi perekonomian rakyat banyak.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah melakukan langkah-langkah besar mempercepat pengembangan sektor pertanian dengan biaya berapa pun. Tanpa itu perdagangan bebas ASEAN-China hanya akan menjadi gerbang kesengsaraan rakyat.
sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/19/09585843/Menghitung.Untung.dan.Rugi.FTA.ASEAN.China/all#
KOMPAS.com — Guna memperkuat dan meningkatkan kerja sama ekonomi, meliputi perdagangan dan investasi, negara anggota ASEAN dan China sepakat membuat perjanjian perdagangan bebas. Ratifikasi terkait kerja sama itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004.
Kerja sama ekonomi ASEAN-China diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara masing-masing. Guna mewujudkan mimpi besar itu, disepakati untuk mengurangi hambatan- hambatan perdagangan sehingga tercipta perdagangan dengan biaya lebih rendah. Selain itu, juga disepakati untuk meningkatkan perdagangan dan investasi intra-regional serta meningkatkan efisiensi ekonomi.
Langkah untuk mencapai itu, antara lain, dengan penghapusan secara progresif hambatan tarif dan nontarif dalam semua perdagangan barang. Liberalisasi perdagangan barang dan jasa secara progresif dengan cakupan sektor yang signifikan. Lantas, di manakah posisi sektor pertanian dalam FTA ASEAN-China ini?
Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (FTA) untuk sektor pertanian sebenarnya adalah reaksi terhadap macetnya negosiasi terkait liberalisasi sektor pertanian di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sulit bagi Indonesia untuk menolak kesepakatan perdagangan bebas ini. Penolakan hanya akan membuat Indonesia terkucil dari pentas perdagangan regional. Di sisi lain, menolak FTA ASEAN-China juga tidak otomatis akan membuat ekonomi domestik menjadi kuat.
Tanpa menerima FTA ASEAN-China pun, Indonesia bakal kebanjiran produk impor dari China, yang masuk melalui negara-negara ASEAN lainnya, yang sebelumnya memang sudah terikat kerja sama regional.
Sementara bila Indonesia terlibat dalam FTA ASEAN-China, juga bukan tanpa masalah. Indonesia, dengan 230 juta penduduk, adalah pasar yang sangat besar bagi komoditas dan produk China. Sebelum FTA ASEAN-China dilaksanakan, berbagai produk dari China sudah membanjiri pasar domestik Indonesia.
Banyak komoditas dan produk Indonesia yang sulit bersaing dengan produk impor dari China. Padahal, industri penghasil produk tersebut, juga pertanian yang membudidayakan komoditas itu, menjadi tumpuan hidup jutaan rakyat Indonesia.
Sebagai bangsa, Indonesia memang tidak perlu berkecil hati menghadapi gelombang perdagangan bebas ini asalkan semua ”pekerjaan rumah” yang ada, sejak ratifikasi ditandatangani tahun 2004, dikerjakan dan diselesaikan dengan baik. Pekerjaan rumah itu adalah meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi sehingga daya saing komoditas dan produk Indonesia meningkat.
Menteri Pertanian Suswono menyatakan, ASEAN-China FTA adalah sebuah kebijakan yang sudah disepakati. Oleh karena itu, lebih baik bila dihadapi dengan mengupayakan peningkatan kapasitas, produksi, dan kualitas komoditas pertanian Indonesia. Hal itu diperlukan karena Indonesia tidak bisa selamanya menerapkan strategi bertahan. Cepat atau lambat, perdagangan bebas akan terjadi.
Oleh karena itu, pemerintah akan mendorong peningkatan daya saing ekspor produk pertanian unggulan, seperti sawit, karet, cokelat, manggis, salak, nanas, dan komoditas hortikultura lainnya.
Untuk subsektor perkebunan, barangkali Indonesia tidak perlu cemas. Neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China pasca-EHP (early harvest programme/percepatan penurunan atau penghapusan tarif) positif dan terus meningkat.
Pada tahun 2004 neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China hanya surplus 763,63 juta dollar AS, tahun 2008 naik hampir tiga kali lipat menjadi 2,757 miliar dollar AS.
Menurut Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Zaenal Bachruddin, dari 20 komoditas pertanian utama yang diekspor Indonesia ke China, didominasi komoditas perkebunan. Komoditas itu dalam bentuk komoditas primer ataupun produk olahan.
Komoditas perkebunan yang mendominasi ekspor Indonesia adalah minyak sawit, minyak inti sawit, karet SIR 20, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat pecah dan setengah pecah, karet polybutadiene styrene (SBR), margarin bukan kalengan, karet dengan campuran amonia, karet dengan campuran silika, serta kopi dipanggang tidak mengandung kafein.
Pukulan telak
Berbeda dengan perkebunan, subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan justru menghadapi tantangan berat. Padahal subsektor tersebut menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Neraca perdagangan komoditas tanaman pangan Indonesia-China tahun 2004 defisit 43,031 juta dollar AS. Tahun 2008 defisit membengkak menjadi 109,531 juta dollar AS.
Neraca perdagangan komoditas hortikultura defisit 150,282 juta dollar AS (2004) dan 2008 defisit 434,403 juta dollar AS. Adapun neraca perdagangan komoditas peternakan tahun 2004 defisit 7,798 juta dollar AS, dan 2008 menjadi defisit 17,948 juta dollar AS.
Meskipun secara agregat surplus neraca perdagangan Indonesia meningkat, hal itu tidak serta-merta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Apalagi ketiga subsektor yang menjadi gantungan hidup mayoritas rakyat mengalami hantaman.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, tahun 2009 jumlah tenaga kerja di subsektor perkebunan hanya 19,7 juta jiwa atau 45,7 persen dari total angkatan kerja sektor pertanian.
Dari 19,7 juta jiwa tersebut, hanya sekitar 8 juta jiwa yang terserap di kelapa sawit dan karet. Sisanya di komoditas perkebunan lainnya. Kelapa sawit dan karet lebih banyak diusahakan perkebunan besar, baik milik negara maupun swasta.
Adapun subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan menyerap lebih dari 30 juta tenaga kerja. Dengan demikian, kesalahan dalam melakukan tata kelola tiga subsektor pertanian itu akan langsung mengimbas pada sendi-sendi perekonomian rakyat banyak.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah melakukan langkah-langkah besar mempercepat pengembangan sektor pertanian dengan biaya berapa pun. Tanpa itu perdagangan bebas ASEAN-China hanya akan menjadi gerbang kesengsaraan rakyat.
sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/19/09585843/Menghitung.Untung.dan.Rugi.FTA.ASEAN.China/all#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar